Bulan Dzulhijah menjadi salah satu bulan yang penuh kemuliaan. Terdapat tiga amalan istimewa yang hanya dapat dilakukan dalam bulan ini. Amalan-amalan tersebut berupa Sholat Idul Adha, Qurban dan Ibadah Haji.
Idul Adha disebut pula sebagai “Idul Nahr” yang artinya hari raya penyembelihan. Hal ini berkaitan dengan ketabahan dan kesabaran Nabi Ibrahim dalam menghadapi ujian yang diberikan Allah. Hingga kemudian, Allah memberinya sebuah anugerah sebagai “Khalilullah” (kekasih Allah).
Setelah gelar Al-khalil disandangnya, Malaikat bertanya kepada Allah: “Ya Tuhanku, mengapa Engkau menjadikan Ibrahim sebagai kekasihmu. Padahal ia disibukkan oleh urusan kekayaannya dan keluarganya?” Allah berfirman: “Jangan menilai hambaku Ibrahim ini dengan ukuran lahiriyah, tengoklah isi hatinya dan amal baktinya!”
Sebagai realisasi dari firman tersebut, Allah SWT mengizinkan pada para malaikat menguji keimanan serta ketaqwaan Nabi Ibrahim. Ternyata, kekayaan dan keluarganya dan tidak membuatnya lalai dalam taatnya kepada Allah.
Dalam kitab “Misykatul Anwar” disebutkan bahwa Nabi Ibrahim memiliki kekayaan 1000 ekor domba, 300 lembu, dan 100 ekor unta. Bahkan dalam riwayat lain mengatakan, kekayaan Nabi Ibrahim mencapai 12.000 ekor ternak. Suatu jumlah yang menurut orang di zamannya adalah tergolong milliuner. Ketika pada suatu hari, Ibrahim ditanya oleh seseorang “milik siapa ternak sebanyak ini?” maka dijawabnya: “Kepunyaan Allah, tapi kini masih milikku. Sewaktu-waktu bila Allah menghendaki, aku serahkan semuanya. Jangankan cuma ternak, bila Allah meminta anak kesayanganku Ismail, niscaya akan aku serahkan juga.”
Dalam Tafsir Ibnu Katsir mengemukakan bahwa, pernyataan Nabi Ibrahim yang akan mengorbankan anaknya jika dikehendaki oleh Allah itulah yang kemudian dijadikan bahan ujian, yaitu Allah menguji iman dan taqwa Nabi Ibrahim melalui mimpinya yang haq, agar ia mengorbankan putranya yang kala itu masih berusia 7 tahun. Anak yang elok rupawan, sehat lagi cekatan ini, supaya dikorbankan dan disembelih dengan menggunakan tangannya sendiri. Peristiwa itu dinyatakan dalam Al-Qur’an:
قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانظُرْ مَاذَا تَرَى قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِن شَاء اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ
Ibrahim berkata: “Hai anakkku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu “maka fikirkanlah apa pendapatmu? Ismail menjawab: Wahai bapakku kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu. InsyaAllah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar.” (QS As-Saffat: 102)
Ketika keduanya siap untuk melaksanakan perintah Allah, datanglah setan sambil berkata, “Ibrahim, kamu orang tua macam apa kata orang nanti, anak saja disembelih?” “Apa kata orang nanti?” “Apa tidak malu? Tega sekali, anak satu-satunya disembelih!” “Coba lihat, anaknya lincah seperti itu!” “Anaknya pintar lagi, enak dipandang, anaknya patuh seperti itu kok dipotong!” “Tidak punya lagi nanti setelah itu, tidak punya lagi yang seperti itu! Belum tentu nanti ada lagi seperti dia.” Nabi Ibrahim sudah mempunya tekat. Ia mengambil batu lalu mengucapkan, “Bismillahi Allahu akbar.” Batu itu dilempar. Akhirnya seluruh jamaah haji sekarang mengikuti apa yang dulu dilakukan oleh Nabi Ibrahim ini di dalam mengusir setan dengan melempar batu sambil mengatakan, “Bismillahi Allahu akbar”. Dan hal ini kemudian menjadi salah satu rangkaian ibadah haji yakni melempar jumrah.
Ketika sang ayah belum juga mengayunkan pisau di leher putranya. Ismail mengira ayahnya ragu, kemudian ia melepaskan tali pengikat tali dan tangannya, sebagai bentuk kerelaann dan kesungguhannya untuk menjalankan perintah Allah tanpa adanya paksaan dari sang ayah atau siapaun, ia meminta ayahnya mengayunkan pisau sambil berpaling, supaya tidak melihat wajahnya.
Nabi Ibrahim memantapkan niatnya. Nabi Ismail pasrah bulat-bulat, seperti ayahnya yang telah tawakkal. Sedetik setelah pisau nyaris digerakkan, tiba-tiba Allah berseru dengan firmannya, menyuruh menghentikan perbuatannya tidak usah diteruskan pengorbanan terhadap anaknya. Allah telah meridloi kedua ayah dan anak memasrahkan tawakkal mereka. Sebagai imbalan keikhlasan mereka, Allah mencukupkan dengan penyembelihan seekor kambing sebagai korban, sebagaimana diterangkan dalam Al-Qur’an surat As-Saffat ayat 107-110:
وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ
“Dan kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.”
وَتَرَكْنَا عَلَيْهِ فِي الْآخِرِينَ
“Kami abadikan untuk Ibrahim (pujian yang baik) dikalangan orang-orang yang datang kemudian.”
سَلَامٌ عَلَى إِبْرَاهِيمَ
“Yaitu kesejahteraan semoga dilimpahkan kepada Nabi Ibrahim.”
كَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ
“Demikianlah kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.”
Menyaksikan tragedi penyembelihan yang tidak ada bandingannya dalam sejarah umat manusia itu, Malaikat Jibril kagum, seraya terlontar darinya suatu ungkapan “Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar.” Nabi Ibrahim menjawab “Laailaha illahu Allahu Akbar.” Yang kemudian disambung oleh Nabi Ismail “Allahu Akbar Walillahil Hamdu.’
Pengorbanan Nabi Ibrahim AS yang paling besar dalam sejarah umat umat manusia itu membuat Ibrahim menjadi seorang Nabi dan Rasul yang besar, dan mempunyai arti besar. Peristiwa yang dialami Nabi Ibrahim bersama Nabi Ismail diatas, bagi kita harus dimaknai sebagai pesan simbolik agama, yang mengandung pembelajaran.
Pertama, ketakwaan. Pengertian taqwa terkait dengan ketaatan seorang hamba pada Sang Khalik dalam menjalankan perintah dan menjauhi larangan Nya. Islam telah mengemas kehidupan secara harmonis seperti halnya kehidupan dunia dan akhirat. Meraih kehidupan baik (hasanah) di akhirat, perlu melalui kehidupan dunia yang baik pula. Sehingga kehidupan di dunia tidak dapat dipisahkan dari upaya meraih kehidupan hasanah di akhirat nanti. Tingkat ketakwaan seseorang dengan demikian dapat diukur dari kepeduliannya terhadap sesamanya. Contoh seorang wakil rakyat yang memiliki tingkat ketakwaan yang tinggi tentu tidak akan memanfaatkan wewenang yang dimiliki untuk memperkaya dirinya sendiri bahkan orang seperti ini akan merasa malu jika kehidupannya lebih mewah dari pada rakyat yang diwakilinya. Kesediaan Ibrahim untuk menyembelih anak kesayangannya atas perintah Allah menandakan tingginya maqom ketakwaan Nabi Ibrahim, sehingga tidak terjerumus dalam kehidupan hedonis sesaat yang sesat. Hingga dengan kuasa Allah ternyata yang disembelih bukan Ismail melainkan domba. Peristiwa ini pun mencerminkan Islam sangat menghargai nyawa dan kehidupan manusia, Islam menjunjung tinggi peradaban manusia.
Kedua, hubungan antar manusia. Ibadah umat Islam yang diperintahkan Tuhan mengandung dua aspek tak terpisahkan yakni kaitannya hablumminallah (hubungan kepada Allah) dan hablumminannas (hubungan dengan sesama manusia). Ajaran Islam sangat memerhatikan solidaritas sosial dan sikap kepekaan sosial melalui media ritual tersebut. Saat kita berpuasa tentu merasakan bagaimana susahnya hidup seorang dhua’afa yang memenuhi kebutuhan pangannya sehari-hari saja sulit. Lalu dengan menyembelih hewan kurban dan membagikannya kepada kaum tak berpunya itu merupakan salah satu bentuk kepedualian sosial seorang muslim kepada sesamanya yang tidak mampu agar kita dapat saling memberi dan berbagi kebahagiaaan. Kehidupan saling tolong menolong dan gotong royong dalam kebaikan merupakan ciri khas ajaran Islam. Selain itu kita perlu mewaspadai diri atas godaan dunia agar tidak terjeremus perilaku tidak terpuji seperti keserakahan, mementingkan diri sendiri, dan kelalaian dalam beribadah kepada sang Pencipta.
Ketiga, peningkatan kualitas diri. Dari Kurban ini sendiri kita dapat memperkukuh empati, kesadaran, pengendalian dan pengelolaan diri sebagai cikal bakal akhlak terpuji seorang Muslim. Sebagaimana yng telah dicontohkan Nabi seperti membantu sesama manusia dalam kebaikan, kebajikan, memuliakan tamu, mementingkan orang lain (altruism) dan senantiasa sigap dalam menjalankan segala perintah agama dan menjauhi hal-hal yang dilarang.
Hikmah yang dapat diambil dari pelaksanaan sholat Idul Adha, bahwa hakikat semua manusia adalah sama dan yang membedakan hanyalah taqwanya. Dalam peristiwa penyembelih tersebut sebeneranya dapat kita simpulkan sebuah simbolik tersendiri, bahwasanya pada dasarnya masing-masing dari kita adalah Ibrahim. Ibrahim memiliki Ismail (putra kesayangannya) sebagai penggambaran harta dunia paling berharga. Sedangkan Ismail kita dapat berupa jabatan, gelar, karir atau apapun yang kita sayangi dan pertahankan didunia ini. Jika kita renungkan kembali, sebenarnya Allah tidak memerintahkan Ibrahim untuk membunuh Ismail. Tapi Allah memerintahkan Ibrahim untuk membunuh rasa kepemilikannya terhadap Ismail. Karena hakikatnya semua yang ada didunia ini adalah milik Allah. Keluarga, kekayaan dan kekuasaan semua itu hanya keduniawiaan yang sementara. Idul Adha menjadi pengingat bagi kita tentang keikhlasan dan tawakkal kepada Allah SWT. Akan ada banyak hal didunia ini yang harus kita lepas. Dan salah satu bentuk ketabahan dalam menerimanya yakni dengan ikhlas dan percaya akan hikmah dalam takdir tersebut. Ketika kita sudah benar-benar ikhlas, percaya dan tawakkal maka Allah akan memberikan jalan yang jauh lebih baik dari sebelumnya.