Wonogiri, sunanpandanaran.com – Pertemuan tokoh adat dalam event do’a bersama dan sarasehan budaya yang dilaksanakan di Pondok Pesantren Syahiidah, Pracimatoro, Wonogiri (Yayasan Pondok Pesantren Sunan Pandanaran) yang berlangsung sejak sabtu (12/08/2023) hingga Minggu (13/08/2023) berlangsung padat namun tidak tergesa. Para peserta banyak berdiskusi dan banyak bergembira.
Pertemuan yang dihadiri sekitar 30an tokoh adat se-Nusantara, mulai dari Aceh pining, Gayo Lues yang ada di Sabang hingga Komunitas Sanifagu di Merauke ini digelar dengan tujuan untuk merumuskan strategi kebijakan dalam memperkuat kesatuan dan keberagaman adat dan budaya Nusantara.
Sarasehan yang berlangsung selama dua hari tersebut menghasilkan delapan rumusan penting yang akan menjadi rekomendasi dan langkah strategis bagi semua pihak, khususnya para pemangku kebijakan, baik di masing-masing adat maupun pemerintah, untuk menjaga keutuhan bangsa dan kedamaian masyarakat.
Setelah menghasilkan rumusan rekomendasi strategis tersebut peserta diajak berkunjung ke tempat bersejarah diantaranya adalah gunung gambar dan goa kencana.
Gunung gambar yang terletak di kecamatan Ngawen Gunung Kidul, adalah tempat petilasan Pangeran Samber Nyawa yang kemudian menjadi Adipati di Pura Mangkunegaran atau yang dikenal dengan Raden Mas Said.
Beliau mengasingkan diri ke Gunung Gambar untuk membuat strategi melawan penjajah Belanda hingga bisa menggambar situasi Keraton Surakarta termasuk cara mengusir dan berperang. Tempat ini menjadi tempat upacara nyadran dan wisata ziarah yang hingga kini sering didatangi warga. Banyak yang mengharap berkah dan berdoa di Petilasan.
Salah satu tokoh adat, Afifah dari Tengger mengatakan, sebenarnya Gunung Gambar memiliki persamaan dengan Gunung Bromo. Namun pelestarian kebudayaan di Gunung Gambar terlihat masih belum digalakkan.
“Saya melihat Gunung Gambar dan Gunung Bromo itu ada persamaannya yaitu sama-sama mempunyai nilai luhur yang tinggi, akan tetapi kalau di sini mungkin orang yang melestarikan masih minim” katanya.
Lebih lanjut, Afifah beranggapan, anak muda di sana belum banyak yang mengenal dan mengetahui tradisi di Gunung Gambar. Ia juga menceritakan kondisi masyarakat sekitar Bromo di mana mereka sejak kecil sudah dikenalkan dengan rangkaian adat di sana.
“Mungkin dari anak mudanya belum banyak yang mengetahui dan menjaga peninggalan leluhur tersebut. Karena kalau di Bromo dari sejak lahir semua anak ditanamkan dan dikenalkan adat kebudayaan serta diharuskan mengikuti semua rangakaian adat yang ada oleh keluarga mereka” tambahnya.
Tempat selanjutnya yang dikunjungi adalah Goa Putri Kencana. Menurut sejarahnya, Goa tersebut digunakan oleh Putri Kencana Wungu, anak dari Raja Brawijaya V sebagai tempat pelarian saat akan dinikahkan dengan Minak Jinggo. Goa tersebut difungsikan sebagai tempat wisata yang sarat akan edukasi dan spiritual.
Setelah kembali ke Ponpes Syahiidah para peserta mengikuti acara doa bersama yang cukup sakral. Acara diawali oleh sambutan dari Pangeran Adipati Qodiran dari kraton kanoman. Dalam sambutannya ia mengatakan, sudah selayaknya menjadi tugas kita untuk mengkaji makna Nusantara dan kenyataan sejarah.
“Kegiatan ini menjadi suatu ikon yang luar biasa, saya nangis batin, apa arti hidup? bagaimana perjuangan para leluhur kita? arti Nusantara disini harus dikaji. Bagaimana Nusantara terdahulu peninggalan leluhur dan Nusantara yang sekarang. Pada zaman ini tugas kita adalah berfikir bagaimana kita mengkaji kenyataan, dan ini merupakan tanggungjawab kita” ungkapnya.
Ia menambahkan, rangkaian kegiatan tersebut juga sebagai upaya menyatukan hubungan dengan Tuhan, hubungan dengan manusia, serta hubungan dengan alam.
“Di sini kita menyatukan hablu minallah, hablu minannas. Di sini kita menyatukan alam ini untuk menjadi kesatuan. Ada falsafah untuk menyatukan alam” jelas pangeran Adipati Qodiran.
Acara dilanjutkan dengan menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya 3 Stanza, doa bersama, dan penanaman 20 jenis pohon Mandala di atas tanah Ponpes Syahiidah yang sekarang dinamakan menjadi bukit Nusantara.
“Kita namai bukit ini bukit Nusantara,” kata Ketua Lesbumi KH Jadul Maula, yang disambut sholawat dan tepuk tangan para peserta.

Pohon Pusaka Mandala merupakan simbol dari spirit menjaga dan merajut keberagaman dalam siklus kehidupan yang harmoni dan seimbang. Hal ini disimbolkan dengan berbagai ragam pohon keramat yang ditanam dalam kegiatan tersebut, diataranya pohon beringin, pule, gayam, puspa, kelor, kepuh dan lain-lain.
Menariknya, pohon-pohon pusaka tersebut dibawa oleh peserta dari berbagai daerah bersama tanah dan air yang diambil dari tempat-tempat sakral. Tanah dan air yang sudah dicampur kemudian digunakan untuk menanam dan menyiram pohon pusaka tersebut.
Sepertihalnya yang dilakukan pengurus Lesbumi NU Gresik. Mereka membawa tanah dan air dari makam para wali di Gresik. Bibit tanaman yang dibawa merupakan tanaman yang tumbuh di makam wali, diantaranya tanaman Kinco dari Leran, Mengkudu dari Sunan Malik Ibrahim dan Sunan Giri, Salam Koja dari Sunan Prapen, Dewan Daru dari Poesponegara, dan Ketepeng dari Sunan Malik Ibrahim.
Penanaman pohon Mandala merupakan simbol yang bermakna do’a. Do’a yang telah dilakukan oleh para tokoh adat semoga selalu tumbuh dan berkembang layaknya pohon yang rindang dan menebarkan kemanfaatan dan keseimbangan alam semesta. (Yovi Maulida)